Parenting VOC Adalah? Memahami Pola Asuh di Zaman Penjajahan dengan Kacamata Kritis

Istilah “Parenting VOC” mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang, atau justru menimbulkan pertanyaan besar: Apa hubungannya pola asuh dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) — perusahaan dagang kolonial Belanda yang menjajah Nusantara selama ratusan tahun? Di artikel ini, kita akan membedah makna di balik istilah ini — bukan hanya dari sisi sejarah, tapi juga dari sudut pandang psikologi sosial dan budaya.


Apa Itu Parenting VOC?

Secara harfiah, “Parenting VOC” bukanlah konsep resmi dalam dunia psikologi atau pendidikan anak. Namun, istilah ini sering digunakan secara satiris atau metaforis di media sosial dan ruang diskusi pendidikan untuk menggambarkan gaya pola asuh yang keras, otoriter, dan tidak demokratis, mirip dengan bagaimana VOC memperlakukan masyarakat jajahannya.

Dengan kata lain, parenting VOC adalah bentuk pola asuh yang terlalu menekankan pada kekuasaan, kontrol mutlak, dan hukuman, tanpa ruang dialog antara anak dan orang tua.


Ciri-Ciri Pola Asuh “Parenting VOC”

Istilah ini biasanya disematkan pada orang tua yang secara tidak sadar menerapkan metode pengasuhan berikut:

  1. Anak harus patuh tanpa tanya
    Orang tua menuntut ketaatan absolut. Jika anak bertanya “kenapa?”, mereka dianggap melawan.

  2. Hukuman fisik atau verbal jadi alat utama
    Seperti penjajahan, kekerasan digunakan untuk menimbulkan efek jera, bukan kesadaran.

  3. Tidak ada ruang diskusi
    Semua keputusan diambil sepihak oleh orang tua, dengan asumsi bahwa mereka selalu benar.

  4. Menekankan rasa takut, bukan hormat
    Anak tidak di hargai sebagai individu, tapi sebagai bawahan yang harus tunduk.


Asal Usul dan Konteks Budaya

Mengapa gaya parenting semacam ini masih sering di temukan di masyarakat kita?

Jawabannya cukup kompleks. Sistem ini merupakan warisan panjang dari budaya feodal, kolonialisme, hingga nilai-nilai patriarkal yang belum sepenuhnya hilang dari ruang keluarga kita. Banyak orang tua membesarkan anak sebagaimana mereka dulu di besarkan — tanpa mengevaluasi apakah metode itu masih relevan atau justru menyakitkan.


Dampak Parenting VOC pada Anak

Pengalaman saya sebagai fasilitator pendidikan dan pendamping keluarga selama lebih dari lima tahun memperlihatkan bahwa anak-anak yang tumbuh di bawah pola asuh “VOC” umumnya mengalami:

  • Rendah diri dan takut mengambil keputusan

  • Kecemasan sosial atau trauma komunikasi

  • Siklus kekerasan antar generasi (anak kelak mengasuh seperti orang tuanya)

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi salah satu penyumbang utama kerentanan anak secara psikologis.


Alternatif: Parenting Demokratis yang Menumbuhkan

Jika parenting VOC adalah simbol represi, maka parenting demokratis dan empatik adalah simbol peradaban.
Inilah beberapa prinsip yang bisa di terapkan:

  • Bangun komunikasi dua arah: Anak punya hak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

  • Gunakan logika, bukan ancaman: Tegas bukan berarti kasar.

  • Tanamkan nilai, bukan rasa takut: Didiklah dengan kasih, bukan dengan cambuk.

💡 Pengalaman pribadi saya menunjukkan bahwa ketika orang tua mulai mendengar tanpa menghakimi, anak justru lebih terbuka dan patuh secara sukarela.

Baca juga : Penjelasan Soal Parenting Membangun Pola Asuh yang Relevan di Era Modern


Kesimpulan

Parenting VOC adalah sebuah istilah sindiran yang menggambarkan pola asuh yang kejam, otoriter, dan tidak relevan di zaman modern. Meski istilah ini tidak resmi, ia menjadi refleksi penting tentang bagaimana kita sebagai orang tua perlu mengevaluasi kembali cara membesarkan anak.

Mengasuh anak bukan soal mengulang pola lama, tapi soal berani belajar ulang, dengan cinta dan akal sehat.